Tuesday, September 12, 2006

Cincin di Jari Tengah

Semenjak Roy, lelaki baik yang menikahiku, meninggalkan dunia kepedihan ini, aku kembali menjadi seorang wanita yang mandiri. Bukan mensyukuri ataupun meratapi, tapi aku merasa seperti tidak terjadi apa-apa saja setelah semuanya berlalu. Awalnya memang aku sempat shock dan pingsan ketika mengetahui Roy meninggal dalam kecelakaan pesawat di Solo beberapa waktu silam. Berhari-hari lamanya mulai dari menjemput jenazah, menguburkan, dan mengadakan tahlilan di rumah, aku dirundung oleh perasaan bersalah, cemas, takut dan stress memikirkan kehidupanku tanpa dia.

Kemudian ketegaran itu datang tiba-tiba, saat semuanya harus aku sendiri yang menghadapi. Mulai dari membayar tagihan listrik, air, memperbaiki alat-alat rumah tangga yang rusak, semuanya membuat aku semakin yakin akan kemampuanku sendiri. Belum lagi pekerjaan di kantor pun menyelamatkan aku dari kesepian setiap hari. Kadang aku memang sengaja menenggelamkan diriku dalam pekerjaan hanya untuk mengusir rasa takutku jika terlalu lama berada di kamarku sendirian.

Pada akhirnya aku merasakan bahwa semuanya berubah. Bukan karena adanya cinta baru, tapi lebih kepada sesuatu di dalam diriku yang merasakan bahwa memang sudah saatnya aku tidak terpuruk oleh kenyataan pahit ini. Aku pun mulai merasa santai dalam menjalani hari-hariku. Cuma, akhir-akhir ini memang ada masalah yang menggangguku. Entah kenapa di saat aku sendiri seperti ini bukan hanya laki-laki yang mulai mengadakan pendekatan kepadaku, tapi beberapa orang wanita juga. Kadang-kadang aku mematut diriku lama-lama di depan cermin riasku hanya untuk memastikan apakah aku punya tampang yang mengundang para wanita itu?

Sampai suatu saat aku baru menyadari sesuatu yang mungkin menjadi jawabannya. Aku memasang cincin pernikahan almarhum Roy di jari tengahku. Sebenarnya itu menurutku bukan sesuatu yang tidak wajar. Aku ingin menyimpannya, tapi entah kenapa aku ingin memakainya juga. Dan satu-satunya jari yang sesuai untuk memakainya adalah jari tengahku.

"Cha, apa bener kalau orang pakai cincin di jari tengah itu lesbian?", tanyaku pada Ocha rekan kerjaku di suatu kesempatan makan siang.
"Ah, enggak juga. Tapi memang katanya ada yang bilang seperti itu sih, Res." Berarti pikiranku tidak salah tentang cincin yang disematkan di jari tengah.
"Apa sebaiknya aku copot saja cincin suamiku ini?"
"'Ga papa koq. Kenapa sih kamu mikirnya ke situ?"
"Apa aku punya tampang seperti seorang lesbian?"
"Kamu tuh Res, bukan tampang lesbian tapi tampang mesum!", kata Ocha sambil ketawa.
"Ih, ditanya serius juga.", protesku.
"Udah deh, cuek aja. Lagian sebenarnya nih, aku mau tanya, kenapa sih kamu masih pakai cincin kawin almarhum suamimu?"
"Aku masih sayang sama dia, Cha. Pernikahan bagiku cukup sekali saja, takkan ada lagi cinta ke dua dan seterusnya."

"Padahal kamu tuh masih oke lho Res, tampang cantik, body slim gitu. Gue aja kalo cowok naksir deh."
"Tuh kan mulai, aku tuh bukan lesbian tau!", gurauku.

Lalu, seperti menjadi sebuah kebiasaan, aku mulai suka memandangi cincin di jari tengahku. Di setiap ada kesempatan untuk melamun, pasti aku pandangi dia. Kenangannya memang terlalu indah. Roy melamarku pada saat hujan gerimis di kota Bergheim. Saat kami berdua menjalani kehidupan sebagai mahasiswa yang sedang tugas belajar. Waktu itu aku melihat senyumannya yang teduh seperti keteduhan cuaca di sekitar sungai Rhein. Jika aku menatap cincin polos itu, aku selalu menangis, kemudian berdoa bagi dia. Apakah memang aku masih mencintai dirinya? Yang jelas aku merasa bahagia telah membuat keputusan yang tepat saat aku memutuskan untuk menikahinya.

Malam ini, aku dan Ocha janjian makan di Kashiwa. Selesai memesan makanan, aku pamit ke toilet sebentar. Sebenarnya ini acaranya Ocha. Dia ingin memperkenalkan pacarnya, Ichiro, yang berkebangsaan Jepang itu padaku. Katanya sudah hampir 3 tahun berteman, sudah selayaknya dia memberitahukan pacar rahasianya kepadaku. Sungguh tersanjung juga sih punya teman seperti dia. Ocha membeberkan semua rahasianya kepadaku, sampai-sampai dia ceritakan juga apa kebiasaan Ichiro jika sedang gugup. Kenapa Ichiro disebut pacar rahasia Ocha, karena selama ini Ichiro tidak pernah memperlihatkan dirinya kepada teman-teman Ocha. Dari foto yang pernah diperlihatkan kepadaku sih, Ichiro ganteng. Serasi dengan Ocha yang cantik dan periang itu. Kadang-kadang aku merasa iri akan kebahagiaan mereka mengingat saat ini aku sendiri.

Di toilet aku berpapasan dengan seorang wanita, cantik dan ramah. Aku masih melihatnya tersenyum padaku ketika aku memasuki salah satu ruang toilet. Di dalam toilet aku berpikir keras, sepertinya aku pernah melihat wanita itu. Tapi semakin keras otakku berpikir, rasa-rasanya memoriku akan dia semakin menghilang.

Aku sangat terkejut ketika melihat dia masih di dalam toilet sambil merokok. Aku semakin menciut, dan berprasangka aku akan berurusan dengan hal-hal yang konyol mengenai cincin di jari tengahku itu. Aku melewatinya saat hendak mencuci tangan.
"Resya, ya?", tanyanya.
"Ya?", hanya itu yang bisa aku ucapkan kepadanya. Otakku berputar keras untuk memikirkan kembali sosok yang sedang berhadapan denganku ini. Rasanya belum terlalu lama aku bertemu dengan dia. Jika dia itu rekanan perusahaan, sudah pasti aku akan segera hafal begitu dia menyebutkan namanya. Beberapa kali terjadi memang seperti itu, tapi aku kemudia cepat mengenalinya sebab aku sering memberi inisial nama perusahaannya di belakang namanya.
"Aku Irene." , katanya sambil mengulurkan tangannya. Aku masih tertegun dan mengira siapakah dia. Seingatku tidak ada rekanan perusahaanku yang bernama Irene. Nama yang hampir mirip adalah Airin, dari perusahaan distribusi produk elektronik ternama.
"Oh, sebentar, aku hendak cuci tangan dulu.", kataku begitu melihat tangannya bergerak seakan hendak menyalamiku.
Tapi dia tidak peduli. Dengan kasarnya ditariknya tanganku. Aku memberontak dari cengkraman tangannya. Yang aku takutkan adalah cara dia memegang rokok, yang seakan-akan mengancam hendak menyundut telapak tanganku.
"Bajingan kamu Resya! Pelacur!", umpatnya kepadaku.
"Apa - apaan ini? Apa maksudmu?", teriakku setengah menjerit.
"Kamu memang tidak tahu, tapi Roy yang sudah meninggal tidak bisa menjawabnya lagi."

Aku kembali dilanda kebingungan. Irene? Roy? Siapakah dia sebenarnya? Ada hubungan apa antara mahluk kasar bernama Irene ini dengan almarhum Roy suamiku?
Tangan-tanganya bergerak cepat. Dengan kasarnya dia meraih cincin kawin di jari tengahku. Begitu cincin itu terenggut, cincin itu diacung-acungkan tepat di mukaku. Aku melihat dia bukan lagi seorang wanita yang cantik, tapi seekor banteng yang hendak memporakporandakan tubuh seorang matador.

"Sabar dulu, katakanlah apa maksudmu." kataku lagi mencoba menenangkan dirinya.
Entah kenapa, dia tiba-tiba menangis. Bahunya terguncang-guncang keras. Pegangan tangannya di lenganku melemah. Rokoknya jatuh di lantai toilet.
"Roy sering menyembunyikan cincin ini ketika dia berada bersamaku.", jawabnya singkat sambil terus mengacungkan cincin kawin Roy di depan mukaku. Aku menunggu kata-kata apa lagi yang hendak diucapkannya.
"Aku dan Roy sudah berpacaran selama empat bulan semenjak dia ditugaskan ke Solo."

Darahku naik mendengar pengakuannya. Dalam hatiku ingin merutuki Roy. Tapi kemudian aku sadar, tangisanku tidak mengubah apapun lagi. Tapi ini berarti sudah cukup lama Roy mengkhianati cintanya. Sementara aku sampai saat ini masih berusaha memenangkan cintanya atas cinta lelaki-lelaki lain yang datang setelah mengetahui aku ini seorang janda.
"Dia berjanji akan menikahiku, Resya. Kau tidak sadar betapa bajingannya dia?", katanya lagi. Amarahnya sudah mulai turun. Nafasnya tidak lagi tersengal-sengal ketika berkata.
"Kita sudah sama-sama terluka oleh orang yang telah tiada. Jadi buat apa kamu lakukan ini semua?" kataku menenangkan dirinya sekaligus aku sendiri.
"Dia telah menipuku, dan juga menipumu sekaligus."
"Tidak ada alasan bagimu untuk membenci aku bukan? Seharusnya aku lah yang membenci dirimu. Tapi karena aku tidak tahu apa yang terjadi, lebih baik kita lupakan ini semua."

"Aku benci cincin ini!", teriaknya sambil tetap mengacungkan cincin suamiku di mukaku. Aku tidak habis pikir. Kenapa dia begitu benci pada sebuah benda. Dia tidak membenci aku, tapi sebenarnya amarahnya ini ditujukan kepada almarhum Roy.
"Buanglah jika kau mau, mungkin memang seharusnya aku tidak memakainya.", kataku. Sebenarnya kata-kata ini mengandung keraguan mengingat aku masih mempunyai perasaan cinta kepada almarhum, akan tetapi dari pengakuan Irene aku juga baru dibukakan mata bahwa almarhum suamiku telah menipu diriku.
"Jadi kamu mengijinkan aku untuk membuangnya?", tanyanya seperti meminta persetujuanku.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum pahit menjawab pertanyaannya. Dia mencampakkan cincin itu entah kemana. Suara dentingan logam terdengar di dalam ruang toilet yang sepi. Bunyinya sedemikian dingin, seperti hatiku yang entah kenapa juga menjadi dingin akan cintaku pada almarhum.

Selanjutnya dia tersenyum manis sekali kepadaku, sehingga membuat aku sedikit jengah. Aku membalas senyumannya dengan senyum biasa saja. Dia menangis kembali sambil memelukku. Pada saat seperti itu, aku merasakan kehangatan kasih sayang yang tulus keluar dari dalam jiwaku. Mungkin jika ada orang yang bisa melihat aura, di sekitarku sudah merah menyala karena panasnya cinta. Dalam pelukannya, aku merasakan kepedihan yang dalam. Aku merasa bukan lagi sebagai Resya tapi akulah Irene. Dua wanita dengan hati yang hancur bersatu dalam satu pelukan dan tangisan. Yah, tanpa sadar akupun ikut menangis. Entah karena apa.

Keluar dari toilet, aku bergandengan tangan dengan Irene. Aku yakin Irene di sebelahku tersenyum juga seperti aku. Aku menuntun Irene ke meja tempat Ocha dan Ichiro menunggu. Ocha tampak bingung melihat kami datang. Apalagi sambil bergandengan tangan. Ekspresinya seperti seseorang yang melihat hantu saja. Aku tersenyum lebar, dan melambaikan tanganku yang sudah tidak memakai cincin di jari tengahku. Dalam hatiku aku tahu bahwa tidak perlu ada cincin di jari tengah untuk menyatakan bahwa cinta telah ada di antara aku dan Irene. Cinta memang tidak perlu waktu lama untuk menampakkan dirinya. Lewat peristiwa singkat di toilet restoran itu, cinta terlarang telah tumbuh. Dan semua itu bukan karena cincin di jari tengah. Tapi karena cinta terlarang yang lain.

Jakarta, 06 Juni 2006.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home