Kabut tipis masih bergelayut di atas Teluk Banten
ketika kereta kuda kami berderit menuju pelabuhan. Dari kejauhan aku sudah bisa
melihat perahu-perahu kecil berseliweran, menjemput muatan dari kapal-kapal
besar yang berlabuh jauh di sekitar Pulau Dua dan Pulau Lima. Itulah denyut
nadi pelabuhan kami: bukan kapal asing yang menempel di dermaga, melainkan perahu-perahu
yang tiada henti menumpahkan barang dan manusia ke pantai.
Aku sudah sering
melihat wajah-wajah asing itu. Ada orang Eropa dengan kulit pucat dan janggut
lebat, orang Cina dengan mata sipit dan langkah tenang, orang India berkulit
gelap yang sering dipanggil keling oleh orang-orang sini, juga orang Turki dan
Arab dengan sorban dan jubah longgar. Dari bentuk wajah dan pakaian mereka, aku
bisa menebak asal-usulnya—meski tak jarang aku keliru, sampai mereka membuka
mulut dan bahasa mereka menyingkapkan siapa mereka sebenarnya.
Keramaian pagi itu
tak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya, kuli-kuli berteriak mengangkut
karung, pedagang lokal menunggu barang dagangan, suara tawar-menawar berbaur
dengan bau cengkih, pala, dan ikan asin. Namun bagiku, pagi ini terasa lain.
Ayah menoleh padaku, sorot matanya tajam. “Kau tahu, bukan? Di sini bukan
sekadar berdagang. Ini tempat di mana hidup dipertaruhkan.”
Aku mengangguk
pelan. Aku tahu maksudnya. Bahasa adalah pedangku sekaligus jembatanku. Hari
ini aku tidak lagi sekadar menemani. Aku akan masuk Pabean sebagai pembantu
juru bahasa. Dan di tengah wajah-wajah asing yang mulai kukenal, aku merasa
taruhanku sendiri baru saja dimulai.
Ayahku, Radin Suluh, adalah seorang lelaki yang
tak pernah kehilangan wibawa di mata siapa pun. Bukan karena ia berpakaian
lebih indah atau bersuara lebih keras daripada orang lain, tetapi karena ia
tahu apa yang harus dikatakan, kapan harus diam, dan bagaimana memilih kata
yang tepat. Di pelabuhan, aku sering menyaksikan bagaimana seorang pedagang
asing yang datang dengan wajah garang dan nada suara tinggi, akhirnya luluh
ketika ayahku menyampaikannya kembali dalam bahasa yang lebih lembut, tapi
tegas. Seakan-akan bukan hanya kata yang diterjemahkannya, melainkan juga
perasaan manusia di balik kata itu.
Aku ingat, suatu
kali ada pedagang dari Gujarat yang hampir memukul meja karena kesal tawarannya
tidak diterima. Syahbandar memandang ayah dengan cemas. Ayah tidak
terburu-buru, ia menunggu jeda, lalu menyampaikan dalam bahasa pedagang itu,
“Kesabaran akan membuat harga lebih adil.” Anehnya, wajah lelaki Gujarat itu
mereda, seakan-akan amarahnya ditampung oleh ketenangan ayah. Saat itu aku
berpikir, ayah bukan hanya juru bahasa—ia adalah juru damai.
Di rumah, wibawa
ayah bukan berarti kaku. Ia mengajariku bahasa dengan cara-cara yang kadang
membuatku kagum, kadang membuatku kesal, tetapi selalu kuingat. Malam hari,
ketika hujan mengetuk atap, ia menggantung lampu minyak dan menggelar daun
lontar di depanku. “Kita mulai dari yang sederhana,” katanya. Ia menuliskan
kata “air” dengan aksara Jawa, lalu dengan huruf Arab, dan akhirnya dengan
huruf Latin. “Banyu, ma’un, aqua.” Ia menyuruhku menirukan. Jika aku salah, ia
mengetuk lututku dengan ujung pena. Bukan keras, tapi cukup untuk mengingatkan.
Siang hari, ia
sering mengajakku berjalan ke dermaga. “Belajarlah dari telinga,” katanya. Ia
tidak selalu menjelaskan arti kata-kata yang kudengar. Kadang ia hanya
menyuruhku mengulang bunyi yang asing. Ketika dua pedagang Arab berbicara
cepat, aku menirukan beberapa potongan. Ia tersenyum, meski aku hanya menirukan
sepotong tanpa arti. “Jangan takut menirukan. Bahasa itu lahir dari lidah yang
berani mencoba.”
Ada kalanya ia
memakai benda-benda untuk mengajar. Di meja, ia menaruh sebutir pala, sehelai
kain sutra, atau sebuah piring keramik dari Tiongkok. “Sebutkan ini dalam
bahasa Melayu Pasar,” katanya. Aku menyebutkan. Lalu ia mengubah pertanyaannya:
“Bagaimana dalam bahasa Jawa? Dalam bahasa Sunda? Dalam bahasa Portugis?” Aku
terkadang bingung, tapi perlahan mengerti bahwa setiap benda membawa banyak
nama, dan setiap nama membawa jalannya sendiri menuju makna.
Yang paling sulit
bagiku adalah saat ia sengaja mengajakku menyapa orang asing. Aku masih kecil
waktu itu, malu dan takut salah. Tapi ayah mendorongku, bahkan menarik tanganku
mendekati seorang kuli Cina di dermaga. “Ucapkan apa yang sudah kuceritakan.”
Dengan suara gemetar aku berkata, “Ni hao, peng you.” Lelaki itu menatap, lalu
tersenyum lebar dan menepuk bahuku. Ayah tertawa pelan. “Lihat, satu kata
membuatmu punya teman.”
Ada pula sore-sore
ketika ia hanya duduk, menatap laut, dan memberi nasihat. Kata-katanya seperti
berlapis, kadang baru kupahami setelah lama berlalu. Ia berkata, “Jangan pernah
menganggap bahasa hanya alat. Bahasa adalah wajah. Jika kau merusaknya, orang
akan kehilangan kepercayaan padamu.” Pada kesempatan lain, ia berpesan, “Kata
bisa jadi jembatan, tapi bisa juga jurang. Kau yang memilih apa yang akan kau
bangun.”
Pernah suatu malam,
aku memberanikan diri bertanya, “Ayah, mengapa harus aku? Bukankah banyak orang
lain yang lebih pintar?” Ia menatapku lama, lalu menjawab, “Karena kau berani
menatap orang asing tanpa menunduk. Kau tidak tahu seberapa berharga itu. Kata
bisa dipelajari, tapi keberanian hanya lahir dari hati.” Kata-kata itu menancap
dalam diriku.
Ayah juga
menekankan betapa pentingnya menjaga kejujuran. “Juru bahasa harus setia pada
makna, meski kadang makna itu pahit bagi telingamu sendiri. Jangan pernah
memutarbalikkan, karena di situlah kepercayaan diuji. Dan tanpa kepercayaan,
juru bahasa hanyalah suara kosong.” Aku sering merenungkan pesan ini, apalagi
ketika melihat ayah dipercaya oleh para pedagang, syahbandar, bahkan utusan
istana.
Aku tumbuh dengan
rasa kagum yang bercampur beban. Kagum karena ayah bisa membuat kata-kata
menjadi senjata dan perisai sekaligus. Beban karena aku tahu, suatu hari aku
harus berjalan di jalannya. Di depan mata, aku menyaksikan bagaimana bahasa
bisa menggerakkan perdagangan, menjaga perdamaian, dan menentukan rezeki banyak
orang. Ayah mengajarkan semua itu tidak dengan ancaman, tetapi dengan teladan.
Kini, ketika kereta
kami kian dekat ke Pabean, aku teringat semua pelajaran itu. Hujan tipis yang
turun seakan mengulang suasana malam-malam ketika aku menirukan kata asing di
bawah lampu minyak. Aku tahu, hari ini aku akan memasuki medan yang nyata. Aku
bukan lagi murid yang hanya menyalin kata, melainkan seseorang yang harus mulai
menanggung akibat dari lidahnya sendiri. Dan meski gemetar, aku merasa
siap—sebab di dadaku, suara ayah masih terus bergaung: “Bahasa itu seperti air.
Biarkan ia mengalir. Dan kau harus belajar berenang di dalamnya.”
Bangunan Pabean, atau Tolhuis sebagaimana orang
Portugis menyebutnya, berdiri megah di tepi pelabuhan. Tiang-tiang kayu jati
menopang atapnya yang tinggi, lantainya berderit oleh langkah kuli yang keluar
masuk membawa barang dagangan. Dari dermaga hingga pintu Pabean, keramaian
tiada putus: perahu-perahu kecil berlabuh silih berganti, menurunkan muatan
dari kapal besar yang tertambat di Pulau Dua atau Pulau Lima. Bau garam laut
berpadu dengan wangi cengkih, pala, dan lada yang memenuhi udara.
Namun Pabean bukan
sekadar gudang penyimpanan. Ia adalah pusat dari segala urusan niaga di Banten.
Di sinilah setiap pedagang asing wajib melapor, memperlihatkan barang, dan
membayar bea kepada kerajaan. Pabean menjadi nadi pemasukan, penopang kekuatan
kesultanan yang dipimpin oleh Sultan Maulana Muhammad.
Di atas hiruk-pikuk
itu, berdirilah seorang Syahbandar. Ia bukan sembarang pejabat, melainkan
seorang Cina Muslim yang dipanggil dengan hormat sebagai Kiai. Gelar itu
diberikan bukan karena keturunan, melainkan karena kepandaiannya dalam mengatur
alur niaga, menimbang untung rugi, dan menjaga keseimbangan kepentingan antara
pedagang asing, rakyat pelabuhan, dan istana. Kiai Syahbandar inilah yang
menjadi tangan kanan Mangkubumi Jayanegara, kepala pelabuhan yang melapor
langsung kepada Sultan.
Di bawah
Syahbandar, ada Umar bin Said, juru bahasa utama yang menguasai beragam lidah
dagang. Tugasnya menjembatani kata-kata agar tidak salah paham, sebab satu
kalimat yang keliru bisa memicu pertengkaran atau menghentikan perdagangan.
Aku berdiri di
pintu Pabean, menatap keramaian yang penuh bahasa asing. Di sinilah semua wajah
dunia bertemu. Dan aku tahu, tugasku sebagai juru bahasa muda akan diuji untuk
pertama kalinya.
Langkah kakiku bergema di lantai papan yang sudah
lama dipoles ribuan sepatu dan sandal para pedagang. Di depanku terbentang
bangunan besar dari kayu dan batu bata, kantor yang oleh orang Portugis disebut
Tolhuis, tapi bagi kami dikenal sebagai
Pabean. Dari sini, jantung dagang Banten berdetak.
Aku masih bisa
mengingat penjelasan ayah beberapa hari sebelumnya, sambil menunjuk ke arah
utara Keraton Surosowan. “Dulu, Nak, pintu masuk pelabuhan itu hanya berupa
palang dari batang-batang pohon,” katanya. “Para perwira di bawah Tumenggung
berjaga, lengkap dengan dua meriam, untuk menentukan kapal mana yang boleh
masuk dan mana yang harus menunggu. Di situlah sekarang orang menyebutnya
Jembatan Rante.”
Kini, tempat itu
berkembang menjadi pusat niaga yang jauh lebih kompleks. Di sebelah barat kota
raja, kantor Pabean berdiri di dekat jalur perahu-perahu kecil yang
keluar-masuk dari Pulau Dua dan Pulau Lima. Bangunannya lebih kukuh, dilengkapi
ruang penyimpanan, tempat pencatatan, dan ruang besar untuk timbangan umum—dacing—yang menggantung kokoh dari balok
kayu. Semua barang dagangan yang masuk ke Banten harus melewati alat itu,
ditimbang, dicatat, lalu dikenai bea.
Tak jauh dari
Pabean, agak ke selatan, terdapat pula kantor Syahbandar. Di sanalah segala
keputusan akhir diambil, dari izin kapal berlabuh hingga penetapan pajak dan
aturan dagang. Kantor itu lengkap dengan pegawai-pegawai pencatat, akuntan,
serta para pengawas yang tak segan menyita barang bila pajak tidak dibayar.
Bangunan ini cukup megah untuk membuat pedagang dari Malaka, Gujarat, atau
Portugis terkesan.
Aku menyadari
betapa peliknya urusan di sini. Pabean bukan sekadar tempat pembayaran pajak.
Ia adalah arena pertemuan dunia: orang Arab dengan gulungan kain, orang Gujarat
dengan karung rempah, orang Cina dengan porselen dan sutra, orang Portugis
dengan senjata dan arak, orang Jawa dengan beras, orang Sunda dengan kayu dan
garam. Di ruang inilah mereka beradu, berselisih, dan akhirnya mencapai
mufakat. Dan di ruang inilah, kata-kata seorang juru bahasa bisa menentukan
arah keuntungan.
Ayah melangkah
tegap di depanku. Radin Suluh. Wajahnya terlihat lebih berwibawa dari biasanya,
matanya menatap lurus ke depan, tubuhnya sedikit tegak seolah hendak
menunjukkan pada semua orang bahwa ia bukan sembarang pendatang. Bagiku, ayah
selalu menjadi sosok yang penuh wibawa. Entah ketika ia menuturkan kisah lama
di serambi rumah, atau saat ia berbicara dengan pedagang asing, setiap katanya
seakan mengandung bobot yang tak bisa ditawar. Kini, melihatnya berjalan di
antara derap langkah para pegawai Pabean, aku makin sadar: dialah jembatan
antara dunia-dunia yang berbeda itu.
Kami berhenti di
depan seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan. Janggutnya rapi, sorot
matanya tajam namun teduh. Pakaian jubah sederhana yang dipakainya tidak
menutupi wibawa yang terpancar. Dialah Umar bin Said, juru bahasa utama Pabean.
Semua orang tahu, dialah yang menguasai puluhan bahasa dagang, dari Arab hingga
Portugis, dari Gujarat hingga Cina.
“Tuan Umar bin Said,”
kata ayah dengan nada hormat. “Izinkan aku memperkenalkan anakku, Cetana. Ia
sudah belajar sejak kecil, dan kini kuserahkan padamu sebagai pembantu juru
bahasa.”
Aku menundukkan
kepala, menahan napas, berusaha menampilkan rasa hormat. Dalam hati, ada
kebanggaan bercampur gugup. Ini pertama kalinya namaku disebut resmi di hadapan
seorang tokoh penting.
Umar bin Said
menatapku lama. Matanya menyipit, bibirnya bergerak sedikit, hampir menyerupai
senyum—tapi bukan senyum ramah. “Ah,” gumamnya pelan, “jadi inilah putra Radin
Suluh.”
Nada suaranya
membuatku tercekat. Itu bukan nada kagum, melainkan nada yang sudah menimbang,
lalu menolak untuk terkesan.
“Aku sudah sering
melihat anak-anak muda ingin mencoba peruntungan di sini,” lanjutnya, kali ini
dengan suara yang cukup keras hingga beberapa pegawai menoleh. “Sama seperti
dulu ketika Kiai Ngabehi Karyadana memperkenalkan ayahmu sebagai juru bahasa.”
Aku melirik ayah.
Ada ketegangan yang samar di wajahnya, tapi ia tetap tersenyum tenang. Umar bin
Said melanjutkan dengan nada datar, “Kita semua masih ingat, bukan? Radin Suluh
datang ke Banten sebagai seorang pelarian dari Lampung setelah perang panjang
melawan Kerajaan Sunda dimenangkan oleh Kanjeng Syarif Hidayatullah dari Gunung
Jati, ia datang ke sini membawa ilmu bahasa dan… sedikit keberuntungan.”
Suasana seolah
menegang. Beberapa orang mengangguk samar, seakan mengingat cerita lama. Aku
baru benar-benar menyadari: di mata Umar bin Said, ayahku bukan juru bahasa
yang terhormat, melainkan seseorang yang dulu datang dengan status samar,
seorang oportunis yang pandai memanfaatkan keadaan.
“Dan sekarang,”
Umar menatapku lurus, “kau, putranya, ingin melanjutkan jalan yang sama.”
Aku tercekat, tak
mampu menjawab. Semua latihan kata-kata yang ayah ajarkan seolah lenyap. Tapi
ayah justru tertawa kecil, lalu menepuk bahuku. “Umar bin Said,” katanya dengan
tenang, “memang benar aku datang sebagai pelarian. Tapi bukankah kita semua,
pada akhirnya, mencari tempat untuk menambatkan nasib? Jika kata-kata yang
kupunya bisa menjadi jembatan, mengapa harus ditolak?”
Umar terdiam
sejenak. Matanya masih menatapku, seolah menimbang apakah aku hanya bayangan
ayahku, atau aku memiliki sesuatu yang lebih. “Baiklah,” akhirnya ia berkata
singkat. “Anak ini bisa ikut belajar dan bekerja. Tapi jangan berharap aku akan
memudahkan jalannya. Banten tidak butuh juru bahasa yang setengah hati.”
Aku mengangguk
cepat, masih dengan perasaan campur aduk antara marah, malu, dan tekad. Ayah
menepuk bahuku sekali lagi, kali ini lebih keras, seolah mengingatkan: inilah
awalnya.
Dan di tengah hiruk pikuk Pabean, dengan suara pedagang berteriak, bunyi kuli mengangkat karung, dan dentang dacing menimbang barang, aku sadar satu hal: langkah pertamaku di jalan ini tidak disambut hangat. Tetapi justru karena itulah, aku harus bertahan.
Comments