Banten 20 Juni 1596

Kabut tipis masih bergelayut di atas Teluk Banten ketika kereta kuda kami berderit menuju pelabuhan. Dari kejauhan aku sudah bisa melihat perahu-perahu kecil berseliweran, menjemput muatan dari kapal-kapal besar yang berlabuh jauh di sekitar Pulau Dua dan Pulau Lima. Itulah denyut nadi pelabuhan kami: bukan kapal asing yang menempel di dermaga, melainkan perahu-perahu yang tiada henti menumpahkan barang dan manusia ke pantai.

Aku sudah sering melihat wajah-wajah asing itu. Ada orang Eropa dengan kulit pucat dan janggut lebat, orang Cina dengan mata sipit dan langkah tenang, orang India berkulit gelap yang sering dipanggil keling oleh orang-orang sini, juga orang Turki dan Arab dengan sorban dan jubah longgar. Dari bentuk wajah dan pakaian mereka, aku bisa menebak asal-usulnya—meski tak jarang aku keliru, sampai mereka membuka mulut dan bahasa mereka menyingkapkan siapa mereka sebenarnya.

Keramaian pagi itu tak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya, kuli-kuli berteriak mengangkut karung, pedagang lokal menunggu barang dagangan, suara tawar-menawar berbaur dengan bau cengkih, pala, dan ikan asin. Namun bagiku, pagi ini terasa lain. Ayah menoleh padaku, sorot matanya tajam. “Kau tahu, bukan? Di sini bukan sekadar berdagang. Ini tempat di mana hidup dipertaruhkan.”

Aku mengangguk pelan. Aku tahu maksudnya. Bahasa adalah pedangku sekaligus jembatanku. Hari ini aku tidak lagi sekadar menemani. Aku akan masuk Pabean sebagai pembantu juru bahasa. Dan di tengah wajah-wajah asing yang mulai kukenal, aku merasa taruhanku sendiri baru saja dimulai.

Ayahku, Radin Suluh, adalah seorang lelaki yang tak pernah kehilangan wibawa di mata siapa pun. Bukan karena ia berpakaian lebih indah atau bersuara lebih keras daripada orang lain, tetapi karena ia tahu apa yang harus dikatakan, kapan harus diam, dan bagaimana memilih kata yang tepat. Di pelabuhan, aku sering menyaksikan bagaimana seorang pedagang asing yang datang dengan wajah garang dan nada suara tinggi, akhirnya luluh ketika ayahku menyampaikannya kembali dalam bahasa yang lebih lembut, tapi tegas. Seakan-akan bukan hanya kata yang diterjemahkannya, melainkan juga perasaan manusia di balik kata itu.

Aku ingat, suatu kali ada pedagang dari Gujarat yang hampir memukul meja karena kesal tawarannya tidak diterima. Syahbandar memandang ayah dengan cemas. Ayah tidak terburu-buru, ia menunggu jeda, lalu menyampaikan dalam bahasa pedagang itu, “Kesabaran akan membuat harga lebih adil.” Anehnya, wajah lelaki Gujarat itu mereda, seakan-akan amarahnya ditampung oleh ketenangan ayah. Saat itu aku berpikir, ayah bukan hanya juru bahasa—ia adalah juru damai.

Di rumah, wibawa ayah bukan berarti kaku. Ia mengajariku bahasa dengan cara-cara yang kadang membuatku kagum, kadang membuatku kesal, tetapi selalu kuingat. Malam hari, ketika hujan mengetuk atap, ia menggantung lampu minyak dan menggelar daun lontar di depanku. “Kita mulai dari yang sederhana,” katanya. Ia menuliskan kata “air” dengan aksara Jawa, lalu dengan huruf Arab, dan akhirnya dengan huruf Latin. “Banyu, ma’un, aqua.” Ia menyuruhku menirukan. Jika aku salah, ia mengetuk lututku dengan ujung pena. Bukan keras, tapi cukup untuk mengingatkan.

Siang hari, ia sering mengajakku berjalan ke dermaga. “Belajarlah dari telinga,” katanya. Ia tidak selalu menjelaskan arti kata-kata yang kudengar. Kadang ia hanya menyuruhku mengulang bunyi yang asing. Ketika dua pedagang Arab berbicara cepat, aku menirukan beberapa potongan. Ia tersenyum, meski aku hanya menirukan sepotong tanpa arti. “Jangan takut menirukan. Bahasa itu lahir dari lidah yang berani mencoba.”

Ada kalanya ia memakai benda-benda untuk mengajar. Di meja, ia menaruh sebutir pala, sehelai kain sutra, atau sebuah piring keramik dari Tiongkok. “Sebutkan ini dalam bahasa Melayu Pasar,” katanya. Aku menyebutkan. Lalu ia mengubah pertanyaannya: “Bagaimana dalam bahasa Jawa? Dalam bahasa Sunda? Dalam bahasa Portugis?” Aku terkadang bingung, tapi perlahan mengerti bahwa setiap benda membawa banyak nama, dan setiap nama membawa jalannya sendiri menuju makna.

Yang paling sulit bagiku adalah saat ia sengaja mengajakku menyapa orang asing. Aku masih kecil waktu itu, malu dan takut salah. Tapi ayah mendorongku, bahkan menarik tanganku mendekati seorang kuli Cina di dermaga. “Ucapkan apa yang sudah kuceritakan.” Dengan suara gemetar aku berkata, “Ni hao, peng you.” Lelaki itu menatap, lalu tersenyum lebar dan menepuk bahuku. Ayah tertawa pelan. “Lihat, satu kata membuatmu punya teman.”

Ada pula sore-sore ketika ia hanya duduk, menatap laut, dan memberi nasihat. Kata-katanya seperti berlapis, kadang baru kupahami setelah lama berlalu. Ia berkata, “Jangan pernah menganggap bahasa hanya alat. Bahasa adalah wajah. Jika kau merusaknya, orang akan kehilangan kepercayaan padamu.” Pada kesempatan lain, ia berpesan, “Kata bisa jadi jembatan, tapi bisa juga jurang. Kau yang memilih apa yang akan kau bangun.”

Pernah suatu malam, aku memberanikan diri bertanya, “Ayah, mengapa harus aku? Bukankah banyak orang lain yang lebih pintar?” Ia menatapku lama, lalu menjawab, “Karena kau berani menatap orang asing tanpa menunduk. Kau tidak tahu seberapa berharga itu. Kata bisa dipelajari, tapi keberanian hanya lahir dari hati.” Kata-kata itu menancap dalam diriku.

Ayah juga menekankan betapa pentingnya menjaga kejujuran. “Juru bahasa harus setia pada makna, meski kadang makna itu pahit bagi telingamu sendiri. Jangan pernah memutarbalikkan, karena di situlah kepercayaan diuji. Dan tanpa kepercayaan, juru bahasa hanyalah suara kosong.” Aku sering merenungkan pesan ini, apalagi ketika melihat ayah dipercaya oleh para pedagang, syahbandar, bahkan utusan istana.

Aku tumbuh dengan rasa kagum yang bercampur beban. Kagum karena ayah bisa membuat kata-kata menjadi senjata dan perisai sekaligus. Beban karena aku tahu, suatu hari aku harus berjalan di jalannya. Di depan mata, aku menyaksikan bagaimana bahasa bisa menggerakkan perdagangan, menjaga perdamaian, dan menentukan rezeki banyak orang. Ayah mengajarkan semua itu tidak dengan ancaman, tetapi dengan teladan.

Kini, ketika kereta kami kian dekat ke Pabean, aku teringat semua pelajaran itu. Hujan tipis yang turun seakan mengulang suasana malam-malam ketika aku menirukan kata asing di bawah lampu minyak. Aku tahu, hari ini aku akan memasuki medan yang nyata. Aku bukan lagi murid yang hanya menyalin kata, melainkan seseorang yang harus mulai menanggung akibat dari lidahnya sendiri. Dan meski gemetar, aku merasa siap—sebab di dadaku, suara ayah masih terus bergaung: “Bahasa itu seperti air. Biarkan ia mengalir. Dan kau harus belajar berenang di dalamnya.”

Bangunan Pabean, atau Tolhuis sebagaimana orang Portugis menyebutnya, berdiri megah di tepi pelabuhan. Tiang-tiang kayu jati menopang atapnya yang tinggi, lantainya berderit oleh langkah kuli yang keluar masuk membawa barang dagangan. Dari dermaga hingga pintu Pabean, keramaian tiada putus: perahu-perahu kecil berlabuh silih berganti, menurunkan muatan dari kapal besar yang tertambat di Pulau Dua atau Pulau Lima. Bau garam laut berpadu dengan wangi cengkih, pala, dan lada yang memenuhi udara.

Namun Pabean bukan sekadar gudang penyimpanan. Ia adalah pusat dari segala urusan niaga di Banten. Di sinilah setiap pedagang asing wajib melapor, memperlihatkan barang, dan membayar bea kepada kerajaan. Pabean menjadi nadi pemasukan, penopang kekuatan kesultanan yang dipimpin oleh Sultan Maulana Muhammad.

Di atas hiruk-pikuk itu, berdirilah seorang Syahbandar. Ia bukan sembarang pejabat, melainkan seorang Cina Muslim yang dipanggil dengan hormat sebagai Kiai. Gelar itu diberikan bukan karena keturunan, melainkan karena kepandaiannya dalam mengatur alur niaga, menimbang untung rugi, dan menjaga keseimbangan kepentingan antara pedagang asing, rakyat pelabuhan, dan istana. Kiai Syahbandar inilah yang menjadi tangan kanan Mangkubumi Jayanegara, kepala pelabuhan yang melapor langsung kepada Sultan.

Di bawah Syahbandar, ada Umar bin Said, juru bahasa utama yang menguasai beragam lidah dagang. Tugasnya menjembatani kata-kata agar tidak salah paham, sebab satu kalimat yang keliru bisa memicu pertengkaran atau menghentikan perdagangan.

Aku berdiri di pintu Pabean, menatap keramaian yang penuh bahasa asing. Di sinilah semua wajah dunia bertemu. Dan aku tahu, tugasku sebagai juru bahasa muda akan diuji untuk pertama kalinya.

Langkah kakiku bergema di lantai papan yang sudah lama dipoles ribuan sepatu dan sandal para pedagang. Di depanku terbentang bangunan besar dari kayu dan batu bata, kantor yang oleh orang Portugis disebut Tolhuis, tapi bagi kami dikenal sebagai Pabean. Dari sini, jantung dagang Banten berdetak.

Aku masih bisa mengingat penjelasan ayah beberapa hari sebelumnya, sambil menunjuk ke arah utara Keraton Surosowan. “Dulu, Nak, pintu masuk pelabuhan itu hanya berupa palang dari batang-batang pohon,” katanya. “Para perwira di bawah Tumenggung berjaga, lengkap dengan dua meriam, untuk menentukan kapal mana yang boleh masuk dan mana yang harus menunggu. Di situlah sekarang orang menyebutnya Jembatan Rante.”

Kini, tempat itu berkembang menjadi pusat niaga yang jauh lebih kompleks. Di sebelah barat kota raja, kantor Pabean berdiri di dekat jalur perahu-perahu kecil yang keluar-masuk dari Pulau Dua dan Pulau Lima. Bangunannya lebih kukuh, dilengkapi ruang penyimpanan, tempat pencatatan, dan ruang besar untuk timbangan umum—dacing—yang menggantung kokoh dari balok kayu. Semua barang dagangan yang masuk ke Banten harus melewati alat itu, ditimbang, dicatat, lalu dikenai bea.

Tak jauh dari Pabean, agak ke selatan, terdapat pula kantor Syahbandar. Di sanalah segala keputusan akhir diambil, dari izin kapal berlabuh hingga penetapan pajak dan aturan dagang. Kantor itu lengkap dengan pegawai-pegawai pencatat, akuntan, serta para pengawas yang tak segan menyita barang bila pajak tidak dibayar. Bangunan ini cukup megah untuk membuat pedagang dari Malaka, Gujarat, atau Portugis terkesan.

Aku menyadari betapa peliknya urusan di sini. Pabean bukan sekadar tempat pembayaran pajak. Ia adalah arena pertemuan dunia: orang Arab dengan gulungan kain, orang Gujarat dengan karung rempah, orang Cina dengan porselen dan sutra, orang Portugis dengan senjata dan arak, orang Jawa dengan beras, orang Sunda dengan kayu dan garam. Di ruang inilah mereka beradu, berselisih, dan akhirnya mencapai mufakat. Dan di ruang inilah, kata-kata seorang juru bahasa bisa menentukan arah keuntungan.

Ayah melangkah tegap di depanku. Radin Suluh. Wajahnya terlihat lebih berwibawa dari biasanya, matanya menatap lurus ke depan, tubuhnya sedikit tegak seolah hendak menunjukkan pada semua orang bahwa ia bukan sembarang pendatang. Bagiku, ayah selalu menjadi sosok yang penuh wibawa. Entah ketika ia menuturkan kisah lama di serambi rumah, atau saat ia berbicara dengan pedagang asing, setiap katanya seakan mengandung bobot yang tak bisa ditawar. Kini, melihatnya berjalan di antara derap langkah para pegawai Pabean, aku makin sadar: dialah jembatan antara dunia-dunia yang berbeda itu.

Kami berhenti di depan seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan. Janggutnya rapi, sorot matanya tajam namun teduh. Pakaian jubah sederhana yang dipakainya tidak menutupi wibawa yang terpancar. Dialah Umar bin Said, juru bahasa utama Pabean. Semua orang tahu, dialah yang menguasai puluhan bahasa dagang, dari Arab hingga Portugis, dari Gujarat hingga Cina.

“Tuan Umar bin Said,” kata ayah dengan nada hormat. “Izinkan aku memperkenalkan anakku, Cetana. Ia sudah belajar sejak kecil, dan kini kuserahkan padamu sebagai pembantu juru bahasa.”

Aku menundukkan kepala, menahan napas, berusaha menampilkan rasa hormat. Dalam hati, ada kebanggaan bercampur gugup. Ini pertama kalinya namaku disebut resmi di hadapan seorang tokoh penting.

Umar bin Said menatapku lama. Matanya menyipit, bibirnya bergerak sedikit, hampir menyerupai senyum—tapi bukan senyum ramah. “Ah,” gumamnya pelan, “jadi inilah putra Radin Suluh.”

Nada suaranya membuatku tercekat. Itu bukan nada kagum, melainkan nada yang sudah menimbang, lalu menolak untuk terkesan.

“Aku sudah sering melihat anak-anak muda ingin mencoba peruntungan di sini,” lanjutnya, kali ini dengan suara yang cukup keras hingga beberapa pegawai menoleh. “Sama seperti dulu ketika Kiai Ngabehi Karyadana memperkenalkan ayahmu sebagai juru bahasa.”

Aku melirik ayah. Ada ketegangan yang samar di wajahnya, tapi ia tetap tersenyum tenang. Umar bin Said melanjutkan dengan nada datar, “Kita semua masih ingat, bukan? Radin Suluh datang ke Banten sebagai seorang pelarian dari Lampung setelah perang panjang melawan Kerajaan Sunda dimenangkan oleh Kanjeng Syarif Hidayatullah dari Gunung Jati, ia datang ke sini membawa ilmu bahasa dan… sedikit keberuntungan.”

Suasana seolah menegang. Beberapa orang mengangguk samar, seakan mengingat cerita lama. Aku baru benar-benar menyadari: di mata Umar bin Said, ayahku bukan juru bahasa yang terhormat, melainkan seseorang yang dulu datang dengan status samar, seorang oportunis yang pandai memanfaatkan keadaan.

“Dan sekarang,” Umar menatapku lurus, “kau, putranya, ingin melanjutkan jalan yang sama.”

Aku tercekat, tak mampu menjawab. Semua latihan kata-kata yang ayah ajarkan seolah lenyap. Tapi ayah justru tertawa kecil, lalu menepuk bahuku. “Umar bin Said,” katanya dengan tenang, “memang benar aku datang sebagai pelarian. Tapi bukankah kita semua, pada akhirnya, mencari tempat untuk menambatkan nasib? Jika kata-kata yang kupunya bisa menjadi jembatan, mengapa harus ditolak?”

Umar terdiam sejenak. Matanya masih menatapku, seolah menimbang apakah aku hanya bayangan ayahku, atau aku memiliki sesuatu yang lebih. “Baiklah,” akhirnya ia berkata singkat. “Anak ini bisa ikut belajar dan bekerja. Tapi jangan berharap aku akan memudahkan jalannya. Banten tidak butuh juru bahasa yang setengah hati.”

Aku mengangguk cepat, masih dengan perasaan campur aduk antara marah, malu, dan tekad. Ayah menepuk bahuku sekali lagi, kali ini lebih keras, seolah mengingatkan: inilah awalnya.

Dan di tengah hiruk pikuk Pabean, dengan suara pedagang berteriak, bunyi kuli mengangkat karung, dan dentang dacing menimbang barang, aku sadar satu hal: langkah pertamaku di jalan ini tidak disambut hangat. Tetapi justru karena itulah, aku harus bertahan.



Comments