Senja tidak pernah benar-benar menyukai suara-suara gemuruh yang datang setelah ia bernyanyi, tetapi ia menyukai saat-saat hening yang menggantung setelah not terakhir. Hening itu seperti tarikan napas bersama, jeda sebelum dunia kembali bergerak. Tetapi pada malam itu, setelah ia menarik napas panjang dan mencoba mengucap bait pertama dari lagu barunya, tidak ada suara yang keluar.
Panggung itu bukan panggung biasa, melainkan panggung terbesar yang pernah ia pijak—dengan cahaya yang jatuh seperti hujan emas dan penonton yang begitu banyak hingga hanya terlihat sebagai kabut gelap yang bergerak. Ketika ia berlari ke belakang panggung, manajernya mengikutinya, lalu dokter. Mereka menduga ini hanya ketegangan atau kelelahan. “Istirahat sebentar,” kata mereka, “ini pasti sementara.”
Namun, itu tidak sementara. Keesokan harinya, saat ia mencoba berbicara kepada ibunya di telepon, suaranya tidak pernah tiba. Kata-kata yang ia pikirkan berubah menjadi gumaman yang bahkan ia sendiri tidak mengerti. Senja mulai menghindari panggilan, wawancara, dan akhirnya, orang-orang. Ketika gosip mulai beredar bahwa ia sedang mempersiapkan pernikahan dengan seorang menteri muda, ia hanya bisa mendengus—atau lebih tepatnya, mencoba mendengus—dan memutuskan untuk membiarkannya.
Di kota kecil tempat ia kembali untuk bersembunyi, hal-hal mulai berubah. Anak-anak di sekolah tidak bisa lagi menyebutkan nama-nama pulau di Indonesia dengan benar. Guru-guru tersandung dalam setiap kalimat. Tetangga Senja, yang seorang imam masjid, lupa bagaimana mengucapkan doa dengan benar. Dunia terasa seperti sebuah kotak musik yang mekanismenya rusak: melodi itu ada, tetapi bunyinya melompat-lompat, terpotong-potong, dan akhirnya menghilang.
Tetapi tidak semua orang terpengaruh. Pejabat pemerintah, para petugas polisi, bahkan penyiar berita tetap berbicara lancar, bahkan lebih lancar dari biasanya, seolah-olah mereka kebal terhadap sesuatu yang perlahan menguasai negeri. Ini membuat beberapa orang curiga—apa yang membuat mereka berbeda? Apakah ini semacam eksperimen?
Kabar tentang pohon dengan getah penyembuh itu datang melalui sebuah pesan berantai yang diketik dengan huruf besar dan kecil bercampur. “POHON LIDAH DI HUTAN LARANGAN,” demikian pesan itu berbunyi. Pohon itu, katanya, adalah satu-satunya harapan untuk memulihkan suara yang hilang. Dalam beberapa minggu, ribuan orang mulai berkumpul di sekitar Hutan Larangan.
Hutan itu sendiri telah menjadi mitos. Dulu, kata nenek-nenek, hutan itu adalah tempat di mana burung-burung berbicara kepada manusia, dan manusia berbicara kepada pohon-pohon. Tetapi ketika Senja tiba di sana, yang ia temukan hanyalah ladang tebu yang terhampar sejauh mata memandang. Hutan itu telah digantikan oleh kebun industri—ratusan batang tebu berdiri kaku, seperti penjaga yang menjaga sesuatu yang tak lagi ada.
Orang-orang mulai berkeliaran, mencari jejak pohon yang mereka yakini akan menyelamatkan mereka. Tetapi semua yang mereka temukan hanyalah akar-akar tua dan batang pohon yang sudah lama mati. Getahnya telah mengering, dan dengan itu, harapan mereka.
Beberapa orang menangis. Beberapa duduk di tanah dengan pandangan kosong. Namun, sebagian besar dari mereka hanya diam. Dalam kebisuan itu, Senja melihat sesuatu yang aneh: orang-orang mulai saling menulis pesan. Di atas tanah, di batang-batang tebu, di kertas yang mereka bawa, mereka mulai berbicara tanpa suara.
Perjalanan kembali dari Hutan Larangan adalah perjalanan yang lambat. Tidak ada yang berbicara. Tidak ada yang mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi. Tetapi ketika mereka tiba di rumah masing-masing, dunia mulai berubah.
Di rumahnya, Senja menyalakan televisi untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu. Ia menemukan saluran-saluran itu kosong, kecuali sebuah pesan bergulir: "BERBICARA MELALUI TULISAN ADALAH BAHASA BARU KITA."
Ia mengambil buku catatan dan pena. Ia mulai menulis, bukan lagu, tetapi surat. Surat kepada dirinya sendiri, kepada penggemarnya, kepada dunia. Ketika ia selesai, ia menyadari bahwa ia tidak merasa kehilangan lagi.
Di seluruh negeri, orang-orang mulai menulis. Televisi dan radio ditinggalkan. Orang-orang kembali membaca koran, menulis di buku harian, bahkan mengirim surat kepada tetangga mereka. Kata-kata tertulis menjadi lebih dalam, lebih kaya, dan lebih penuh makna daripada yang pernah mereka dengar dari suara-suara yang hilang.
Senja menemukan kedamaian dalam kebisuan itu. Suaranya tidak pernah kembali, tetapi ia menemukan cara lain untuk berbicara—cara yang lebih abadi, lebih intim. Ia tahu bahwa dunia telah berubah, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa perubahan itu membawa sesuatu yang lebih baik.
Dan di dalam ladang tebu, angin berbisik di antara batang-batang yang tinggi. Mungkin itu hanya angin. Atau mungkin, itu adalah suara-suara yang hilang, akhirnya menemukan rumah mereka di keheningan.
Comments