Satu Hari Menjadi Manusia


Namaku Wicaksana. Umurku tiga puluh tiga, tapi tubuhku terasa seperti lima puluh. Kulitku gelap, dipanggang matahari Bali yang kejam sejak aku bisa memegang sekop. Aku bekerja sebagai pembersih kandang burung unta di Bali Safari and Marine Park. Bukan pekerjaan yang kubayangkan waktu kecil. Dulu aku sempat ingin jadi pemain bola. Atau sopir truk. Apa saja, asal bukan ini.

Setiap pagi, jam lima, saat matahari masih malas menggeliat, aku sudah berdiri di depan kandang. Bau kotoran busuk bercampur pasir basah menyambut seperti lagu kebangsaan. Burung-burung unta itu berdiri kaku, leher mereka panjang dan mata mereka menatap kosong. Kadang aku membayangkan, kalau aku mati di sini, mataku pasti akan mirip mereka.

Kandang itu luas, tapi bau tak pernah betul-betul pergi. Kotoran burung unta bukan seperti kotoran ayam atau kambing. Warnanya pucat kelabu, teksturnya lembek, dan baunya menyengat hingga menusuk rongga kepala. Setiap pagi aku harus menyeroknya, membuang ke keranjang plastik yang beratnya bisa dua puluh kilo kalau lagi apes.

Aku pernah sekali terpeleset di atas tumpukan kotoran itu. Jatuh, tertelungkup. Bau amisnya masuk ke hidung, ke mulut, sampai aku nyaris muntah. Teman-teman kerjaku hanya tertawa. Di sini, penderitaan orang lain adalah hiburan gratis. Tak ada belas kasihan di antara kami. Kami sama-sama tahu, nasib kami tak jauh beda. Di kandang ini, kami cuma bayangan.

Mandorku, Pak Jaya, suka datang mendadak, mengecek apakah kandang sudah bersih. Pernah satu kali dia temukan sepotong kotoran di sudut kandang, sebesar bola pingpong, tertinggal. Dia lempar potongan itu ke mukaku. Kena pipi. Bau dan lengket. Tapi aku tak marah. Tak ada gunanya marah di sini. Marah cuma akan membuatmu kehilangan pekerjaan yang buruk, dan diganti oleh orang yang lebih buruk nasibnya.

Ada satu burung unta betina yang selalu mengejar-ngejarku. Entah kenapa. Lehernya panjang, bulunya kumal, matanya seperti perempuan tua yang pernah patah hati terlalu sering. Kadang dia mendekat, mematuk topiku, atau menarik kantong plastik sampah yang kubawa. Aku beri dia nama "Bu Luh". Kadang-kadang, aku bercakap-cakap dengannya.

"Kita sama, Bu Luh," kataku suatu pagi. "Sama-sama terkunci di sini. Bedanya, aku gak punya bulu."

Dia menatapku, lalu buang kotoran.

Begitulah hidupku berjalan. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan-bulan lewat seperti burung di langit yang terbang entah ke mana. Semua orang sibuk mencari uang, sibuk bertahan. Aku juga. Tapi di kepala, di dalam ruang kecil yang kusembunyikan dari siapa pun, ada satu hal yang membuatku masih bisa menghisap udara bau kandang ini: nama Ni Wayan Ratri.

Perempuan itu satu-satunya yang membuat dunia ini tak sepenuhnya busuk. Dia kerja di warung makan di Ubud. Warung kecil, tapi enak makanannya. Kadang, kalau aku ada sisa uang tip dari turis-turis bule yang kasihan lihat mukaku, aku mampir ke sana. Meski cuma beli kopi Bali segelas, aku senang bisa lihat dia tersenyum. Senyum Ratri bukan senyum yang manis. Tapi senyum yang, entah kenapa, membuatku ingin hidup satu hari lagi.

Sampai akhirnya, pagi itu, ketika aku melihat tumpukan kotoran burung unta seperti gunung kecil, aku merasa muak. Muak sampai tulang. Muak sampai ke hati. Rasanya seperti mau muntah, tapi yang keluar bukan isi perut, melainkan tahun-tahun hidup yang sia-sia.

Aku buang sekop ke tanah.

Suaranya keras. Membelah pagi.

Burung-burung unta itu menoleh.

Pak Jaya belum datang. Teman-teman kerja belum ada. Kesempatan itu seperti jendela kecil yang terbuka sebentar. Dan aku memutuskan melompat. Aku naik motor tua ke luar Taman Safari. Angin pagi dingin, menusuk pori-pori. Aku beli tuak manis sebotol di warung pinggir jalan. Lalu menuju pantai tempat Ratri menunggu.

Hari itu, aku tak peduli. Kalau dunia mau hancur, biarlah. Setidaknya aku sudah mengambil sesuatu darinya.

Aku temukan Ratri duduk di hammock, di antara dua pohon kelapa yang condong ke arah laut. Warung-warung di tepi pantai belum buka. Hanya suara ombak dan desir angin, membawa bau garam dan harum daun kering. Dia mengenakan kain tipis warna cokelat, rambutnya digelung asal, pipinya basah keringat.

Aku duduk di pasir. Tidak berani terlalu dekat.

“Kamu kabur,” katanya, tanpa menoleh.

Aku mengangguk, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen.

“Pekerjaan itu buruk, Tri.”

“Semua orang kerja buat bertahan, Wicak.”

Aku menghela napas. “Aku bukan cuma mau bertahan. Aku ingin… ya, satu hari saja di mana aku bisa merasa hidup.”

Dia menoleh sekarang. Matanya teduh, tapi keras. “Itu bukan soal keinginan. Itu soal karma. Apa yang kamu raih, itu hasil dari apa yang kamu kerjakan. Begitu diajarkan.”

Aku tertawa kecil. “Kalau begitu, kenapa banyak orang jahat bisa hidup enak? Koruptor bisa pergi ke luar negeri, pejabat bisa beli vila, sementara aku disuruh ngurusin kotoran burung unta?”

Dia tersenyum tipis. “Karena dharma bukan soal hasil. Dharma soal cara kamu menjalani hidup, bukan apa yang kamu dapat.”

Aku diam. Kata-kata itu seperti garam di luka. Bukan karena dia salah, tapi karena dia benar. Dan aku benci itu.

“Kamu harusnya balik kerja.”

“Aku cuma pengen istirahat satu hari, Tri. Satu hari yang bukan tentang bau kotoran, bukan tentang mandor brengsek, bukan tentang aturan yang dibuat orang-orang yang tak kenal kita.”

Dia menatapku lama. “Tapi hidup itu soal aturan, Wicak. Kita hidup bareng orang lain. Kita gak bisa bikin aturan sendiri seenaknya.”

Aku menenggak tuak manis dari botol plastik, rasanya hangat, manis getir di ujung lidah.

“Kalau semua orang nurut aturan, Tri, tak akan ada orang yang pernah tahu gimana rasanya jadi dirinya sendiri. Semua jadi topeng. Semua cuma bayang-bayang. Aku gak mau begitu.”

“Kalau kamu dihukum, kalau kamu dipecat?”

Aku mengangkat bahu. “Aku terima. Semua hal ada risikonya, kan?”

Dia tersenyum kecil. “Kamu selalu cari alasan buat breaking the rules.”

Aku ikut tersenyum. “Mungkin karena aku gak percaya semua aturan itu suci.”

Kami terdiam lama. Angin lewat, membawa kabar entah dari mana. Ombak bergulung, suara alam yang konstan dan tak peduli. Kami membiarkan waktu mengalir.

“Aku takut,” katanya pelan.

“Takut apa?”

“Takut negeri ini makin gak bisa dipijak. Kamu lihat berita? Orang mulai ditangkap cuma karena nulis. Karena nanya. Karena nyanyi. Kita kayak jalan di ladang ranjau sekarang.”

Aku menunduk, memainkan pasir di tanganku. “Aku juga takut, Tri. Kadang aku bayangin orang-orang kayak kita, yang cuma bisa kerja apa aja buat makan, bakal jadi korban pertama kalau negeri ini masuk ke kegelapan lagi.”

Dia mengangguk. “Tapi ya, gak bisa apa-apa.”

“Karena itu, kita jalani aja yang bisa kita pegang sekarang,” kataku, pelan. “Aku punya kamu. Kamu punya warung. Aku masih bisa lihat langit. Kita masih bisa minum tuak manis sambil liat laut.”

Dia tertawa kecil. “Kamu romantis kalau lagi putus asa.”

Aku tertawa juga. Ratri menuangkan tuak manis ke dua gelas plastik. Kami menyesap pelan.

“Apa ini berarti kamu usir aku, Tri?” tanyaku, setengah bercanda, setengah takut.

Dia tak langsung menjawab. Pandangannya lurus ke laut, ke cakrawala tempat langit dan air berpelukan.

“Aku gak usir kamu, Wicak,” bisiknya. “Tapi kamu harus berani terima apa pun dari apa yang kamu pilih hari ini.”

Aku mengangguk. Rasanya kata-kata memang tak ada artinya sekarang. Semua sudah terlalu jelas tanpa perlu diucapkan.

Kami membiarkan diam merambat di antara kami. Menyaksikan ombak yang tak pernah berhenti. Mendengarkan angin yang gemerisikkan pucuk-pucuk kelapa. Hari ini bukan hari yang punya nama. Dan itu membuatnya jadi milik kami.

Aku menutup mata, membiarkan suara laut dan desiran angin mengisi rongga tubuhku. Rasanya seperti hidup betulan. Seperti manusia.

Untuk sekali ini.


Kampung Sawah, 2025

Comments