Di kampung Kertarasa, dunia berjalan pelan. Jalan-jalan berlubang, parit mampet, dan di warung Entin sore itu, topik yang dibicarakan hanya satu: pidato Tuan D tentang kenaikan pajak pendapatan.
"Katanya buat pembangunan," Udin berkomentar, menyeruput kopi yang lebih banyak ampas ketimbang cairan.
"Pembangunan apa? Kuburan rakyat miskin?" Tarjo menyambung, disambut tawa setengah hati.
Habsi mendengar tanpa benar-benar mendengar. Sejak pagi ia tahu pidato itu akan mengguncang kampung ini. Dan yang lebih dia tahu, suara-suara sumbang itu sesungguhnya ditujukan pada satu nama yang tak disebut tapi membayang di kepala semua orang.
Natus.
Sejak pilkada selesai dan Dawala — lebih sering dipanggil Donald, atau Tuan D — resmi dilantik, Natus hilang. Tak nongkrong di warung Entin, tak ronda, tak mancing. Rumahnya selalu gelap. Darwanti, istrinya, selalu punya alasan: demam, batuk, takut ketemu orang. Tapi Habsi tahu itu dusta.
Semua orang tahu.
Karena dulu, Natus-lah yang mondar-mandir membawa sembako dan amplop. Menggedor pintu-pintu rumah, merayu, bahkan memaksa.
"Pak Salim, ini buat anak-anak. Dawala itu orangnya baik. Begitu jadi, jalan depan rumah Bapak bakal diaspal."
Pak Salim menerimanya dengan tangan gemetar. Habsi ingat betul percakapan itu. Ingat betul wajah Pak Salim yang hari ini sudah tak ada karena tak sanggup beli obat.
Kertarasa adalah kampung miskin. Lebih banyak anak putus sekolah daripada yang lulus. Lebih banyak lubang di jalan daripada aspal. Di sini, politik soal siapa yang bisa memberi paling banyak. Dan Natus, seorang lelaki paruh baya dengan anak dua, kontrakan tiga bulan nunggak, dan tunggakan warung yang tak terbayar, paham betul logika itu.
"Aku nggak punya pilihan, Hab," katanya dua bulan sebelum pilkada, saat ronda.
"Kita semua nggak punya. Tapi nggak semua jual harga diri."
Natus tertawa, getir. "Aku cuma pengen anak-anakku makan."
Habsi ingin marah. Tapi ia tahu, di kampung ini, moral itu kemewahan. Harga diri bisa dibeli dengan seratus ribu dan sepuluh kilogram beras.
**
Sejak Tuan D dilantik, segalanya berubah. Pajak naik, harga sembako melonjak, proyek-proyek janji kampanye tak kunjung datang. Jalan tetap berlubang. Listrik sering padam. Dan Natus lenyap.
Darwanti bilang demam. Katanya takut ketularan. Tapi Habsi tahu, Natus tak berani keluar. Tak sanggup menanggung tatapan kampung yang sudah remuk.
Malam itu, saat Habsi mendapat giliran ronda, pos ronda sepi. Angin malam membawa bau lumpur dan kotoran kambing. Jam menunjukkan pukul dua lewat sepuluh saat suara sandal gesek terdengar.
Habsi menoleh.
Natus.
Kurus, mata cekung, rambut awut-awutan. Wajah yang dulu lincah kini seperti orang kalah. Ia duduk tanpa bicara.
"Kau dengar pidato Dawala tadi?" tanya Natus.
Habsi mendengus. "Dengar. Dan aku ingat siapa yang bikin dia duduk di sana."
Natus menunduk. "Aku salah."
"Itu yang kau bilang waktu amplop pertama datang. Tapi kau tetap jalan."
"Aku butuh uang, Hab."
"Semua orang butuh. Tapi tidak semua orang jadi perpanjangan tangan bajingan."
Sunyi.
"Aku pikir setelah dia menang, aku bisa dapat proyek. Komisi. Cicil rumah. Bawa Darwanti berobat. Tapi setelah menang, dia nggak kenal aku."
"Dan rakyat?"
"Aku nggak pernah mikirin mereka."
Habsi menahan amarah. "Kau tahu Pak Salim mati karena nggak sanggup beli obat? Kau tahu anak Udin putus sekolah? Kau tahu siapa yang menyeret mereka milih Dawala?"
"Aku," bisik Natus.
"Aku dengar suara mereka tiap malam," lanjutnya. "Wajah Pak Salim. Anak Udin. Suara Mak Rini. Semua."
Habsi menatapnya.
"Kau bisa pergi dari kampung ini."
"Aku nggak bisa lari dari suara-suara itu."
Sunyi. Hanya suara kodok di kejauhan.
"Aku mau minta maaf."
"Ke siapa?"
"Ke semua."
"Mungkin mereka nggak akan maafin."
"Aku tahu."
"Kalau kau mau ngaku dosa, aku temani."
Natus menatapnya. "Aku nggak tahu bisa bertahan sampai pagi."
"Terserah kau."
Natus berdiri.
"Mulai dari Pak Salim."
**
Mereka berjalan menyusuri jalan tanah becek. Rumah-rumah gelap. Di tiap pintu yang dilewati, Habsi tahu, di dalam sana orang-orang yang pernah menerima amplop dari Natus berbaring gelisah.
Depan rumah Pak Salim. Natus mengetuk. Pintu dibuka anaknya, Masrum. Tatapannya dingin.
"Aku… aku minta maaf," kata Natus.
Masrum tak jawab. Hanya menatap. Lama. Lalu pintu ditutup pelan.
Ke rumah Udin. Ke rumah Tarjo. Ke rumah Mak Rini. Reaksi sama. Tatapan kosong, pintu tertutup.
Menjelang subuh, mereka kembali ke pos ronda.
Natus duduk. Wajahnya pucat.
"Aku ingin mati."
Habsi menyalakan rokok.
"Belum waktunya. Kau masih punya dosa yang harus dilihat dunia."
"Aku lihat amplop baru datang. Buat kampanye gubernur."
Habsi menatap. "Kau jangan…"
"Aku tidak."
Natus menghela napas. "Dunia ini tergadai, Hab. Kita semua. Anak-anak kita. Rumah-rumah ini. Bahkan warung Entin. Semua di tangan orang yang paling cepat bagi amplop."
Sunyi.
"Aku ingat dulu aku pernah punya mimpi. Jadi guru. Punya motor. Beli sawah kecil. Tapi sekarang? Aku cuma orang kampung yang menjual suara, menjual harga diri, menjual kampung sendiri."
"Kau bukan sendiri."
Natus tertawa pahit. "Kita semua sama. Bedanya aku yang paling rakus."
Habsi membuang puntung rokok.
"Kau masih bisa memperbaiki."
"Bukan soal diperbaiki. Soal berani lihat betapa hancurnya kita."
Natus memandang langit. "Malam kemarin aku bertemu seseorang."
"Siapa?"
"Aku sendiri. Aku yang dulu. Yang masih bersih. Yang masih bisa marah kalau lihat ketidakadilan. Yang masih punya cita-cita. Dia tanya, ‘Kenapa kau begini, Natus?’ Aku nggak bisa jawab."
Habsi terdiam.
"Ini semua tentang orang yang sadar bahwa dia sudah menjual dunia, jiwanya, semua yang dia cintai.""Seperti kau sekarang?"
"Ya. Akulah lelaki itu."
Angin pagi membawa aroma tanah basah.
"Lalu, apa kau mau mati, Natus?"
"Aku ingin. Tapi aku ingin dunia ini lihat aku dulu. Dunia yang tergadai ini."
Habsi mengangguk. "Aku temani, Natus."
Mereka duduk di pos ronda. Menunggu pagi. Dalam sunyi, dalam kalah, dalam dosa yang terlalu dalam untuk dibersihkan.
Matahari terbit. Jalan tetap berlubang. Orang tetap miskin. Dawala tetap bertahta. Tapi Natus, lelaki yang menjual dunia kecilnya, akhirnya berhenti lari.
Kampung Sawah, 2025
Comments