Mario selalu percaya bahwa rahasia paling gelap manusia disimpan di tempat-tempat paling terang. Di depan mata. Di ruang tamu rumah orang tuanya, di galeri seni, atau di sebuah museum yang pengunjungnya hanya sekadar ingin menghindari panas Jakarta.
Ia berdiri di depan lukisan Lady with the Ermine, salinan cetak yang dipajang Museum Nasional. Ia tahu ini replika, tapi baginya, reproduksi pun bisa menyimpan pesan. Sama seperti dirinya, yang hidup dalam salinan kehidupan yang diatur sejak lama.
“Ini Cecilia Gallerani,” katanya, ketika Lara berdiri di sampingnya. Gadis itu tampak canggung, seakan tubuhnya sendiri tak sepenuhnya ingin berada di ruangan itu.
“Siapa?” Lara bertanya. Rambutnya digelung asal-asalan, mata gelapnya memantulkan bias lampu galeri.
“Perempuan dalam lukisan. Dia kekasih Ludovico Sforza, Duke of Milan. Tapi masalahnya… Ludovico sudah bertunangan waktu itu. Dengan Beatrice d’Este. Cecilia ini semacam… rahasia. Tapi Leonardo tahu caranya menyembunyikan kisah itu dalam lukisan ini.”
Lara diam. Tangannya memainkan ujung lengan jaket. Ia tidak suka seni. Ia suka pantai, suka senja, suka lagu-lagu dari tahun 90-an yang liriknya mudah ditebak. Tapi ia suka Mario. Atau setidaknya, ia pernah suka.
“Jadi maksud kamu, aku Cecilia? Dan kamu… siapa? Ludovico?” Suaranya tenang, tapi ada sesuatu di sana. Nada retak yang orang lain mungkin takkan dengar, tapi Mario tahu.
Ia menarik napas. “Aku gak mau kamu pergi, Lar. Aku gak bisa.”
“Dan Farah?” Nama itu jatuh seperti batu ke permukaan danau yang tenang.
Mario menutup mata. Farah adalah nama yang terlalu mapan dalam hidupnya. Mereka bertunangan dua bulan lalu. Lamaran sederhana, cincin emas putih, foto diunggah ke Instagram. Semua berjalan sesuai jalur.
Sampai dia bertemu Lara di Bali.
Di hotel tua di tepi Sanur, Lara tertawa terlalu keras saat pelayan salah mengantarkan minuman. Mario tertarik, seperti anak kecil pada sesuatu yang berkilau di lumpur. Mereka bicara tentang hal-hal sepele; soto ayam favorit, acara TV buruk yang tetap ditonton, luka kecil di kaki karena sepeda waktu SD.
Lara tidak tahu siapa Mario. Tidak tahu bahwa di kamar hotel Mario, ada sebuah pesan suara dari Farah, tentang undangan pernikahan yang harus segera dikonfirmasi.
Segalanya seharusnya berhenti di sana.
Tapi manusia suka menguji batas.
“Kamu yang mulai semua ini, Mario,” Lara berkata. “Aku gak minta dicintai, apalagi dari orang yang sudah bertunangan.”
“Aku gak bisa pura-pura, Lar.”
“Justru karena itu, aku harus bisa.”
Mereka berjalan keluar dari ruang galeri. Udara Jakarta sore itu lengket, bau aspal basah bercampur debu. Suara klakson di kejauhan.
Di halaman Museum Nasional, patung Gajah berdiri muram, seakan tahu semua cerita manusia sejak masa kolonial.
“Dulu, Cecilia harus disingkirkan,” kata Mario, suara pelan. “Setelah Ludovico menikah, dia dipaksa pergi. Tapi di lukisan ini, dia tetap abadi. Dia pegang musang putih itu erat-erat. Seperti dia tahu… dia gak akan bisa punya apa pun, selain dirinya sendiri.”
Lara menatap Mario. “Aku gak ngerti kenapa kamu ceritain itu semua. Mau ngasih kode? Mau bilang aku bakal dikenang? Aku gak mau dikenang, Mario. Aku maunya hidup. Di sini. Sekarang. Sama orang yang gak harus sembunyi.”
Ada ketakutan aneh di dada Mario. Bukan takut kehilangan Lara, tapi takut kehilangan versi dirinya yang hanya ada saat bersama Lara.
Farah mengenal dirinya sebagai pria mapan, calon suami, manajer keuangan, anak sulung yang baik. Sementara Lara mengenalnya sebagai orang yang bisa salah. Yang bisa malas-malasan nonton serial bodoh sampai jam 2 pagi. Yang bisa cerita soal trauma masa kecil dan ketakutan terhadap gelap.
“Farah gak tahu aku,” katanya. “Dia tahu Mario yang dijual orangtuaku, yang dicetak kantor, yang tampil di pertemuan keluarga. Kamu… kamu tahu aku yang sebenarnya.”
Lara tersenyum, dan itu senyum paling menyakitkan yang pernah Mario lihat.
“Masalahnya, aku gak mau tahu. Aku kira aku mau, tapi aku gak bisa. Aku bukan pelarian kamu dari hidup yang kamu benci, Mario.”
Di atas mereka, langit Jakarta menggumpal kelabu. Uap hujan menebal.
“Aku cinta kamu, Lara.”
Lara menggeleng. “Dan cinta, buat kamu, kayak musang putih di lukisan itu. Dipeluk sebentar, lalu ditinggal.”
Hujan mulai turun. Orang-orang berlarian ke bawah kanopi.
Lara berdiri sebentar, lalu berbalik pergi, langkah cepat menyibak kerikil basah. Mario ingin berteriak, ingin lari mengejar, tapi tubuhnya membeku di tempat.
Di benaknya, Cecilia terus menatapnya dari dalam lukisan. Senyum tipis, tangan menggenggam musang putih.
Ia tahu, Leonardo sudah memperingatkannya sejak lima abad lalu.
Cinta yang dibangun di ruang gelap akan layu di bawah cahaya.
Dan pada akhirnya, hanya ada dirinya sendiri.
Kampung Sawah, Mei 2025
Comments