Menuju Final Frontier


Malam itu hujan turun deras di Jakarta. Lampu-lampu jalan tampak kabur oleh butiran air yang mengalir di kaca jendela taksi tua. Di kursi belakang, seorang pemuda bernama Aditya duduk diam, matanya terpaku ke luar jendela, meskipun pikirannya melayang jauh—ke tempat-tempat yang bahkan tak dapat dijangkau oleh hujan atau cahaya lampu.

Aditya baru saja patah hati. Bukan sekadar perpisahan biasa, tapi sebuah momen penghancuran total atas harapan-harapannya tentang masa depan. Ia membayangkan berbagai skenario buruk dalam hidupnya: kegagalan karier, kesendirian tanpa akhir, bahkan... kematian. Pikiran-pikiran gelap itu menyergapnya seperti bayangan hitam di balik kilatan petir di langit malam.

Namun, apa yang membuat semua ini semakin menyakitkan adalah kejadian yang ia saksikan beberapa jam lalu—sebuah adegan yang bakal terus menghantui tidurnya untuk waktu yang lama. Ia datang ke rumah Sarah, gadis yang selama dua tahun terakhir menjadi alasan ia tersenyum setiap hari. Mereka sudah merencanakan banyak hal: liburan bersama ke Yogyakarta, proyek bisnis kecil-kecilan yang ingin mereka jalankan, bahkan pembicaraan serius soal menikah. Tapi ketika Aditya tiba di depan rumah Sarah sore tadi, ia melihat sesuatu yang menghancurkan dunianya.

Sarah ada di sana, di teras rumahnya, dengan seorang lelaki asing. Mereka tertawa, berbicara, lalu... berciuman. Satu detik, dua detik, tiga detik—rasanya seperti berjam-jam bagi Aditya. Ia membeku di tempat, tidak bisa bergerak atau berteriak. Perasaan marah, bingung, dan sakit bercampur menjadi satu, menciptakan badai emosi yang memporak-porandakan hatinya.

Ia ingat bagaimana kakinya melangkah mundur secara otomatis, lalu berbalik dan berlari menjauh dari rumah itu. Ia tidak tahu harus ke mana, hanya tahu bahwa ia tidak bisa pulang ke kost-nya saat itu juga. Ia memutuskan untuk naik taksi, meskipun uangnya tidak banyak. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari rasa sakit ini.

Saat ia mulai tenggelam dalam khayalannya yang kelam, suara sopir taksinya membuyarkan lamunan.

"Masih hujan ya, Pak," kata sopir itu sambil melirik kaca spion. "Tapi di balik awan mendung ini, ada bintang-bintang yang tetap bersinar."

Aditya tersenyum tipis, meskipun senyum itu dipaksakan. "Iya, Pak. Tapi kadang kita cuma lihat awannya, bukan bintangnya."

Sopir itu tertawa kecil. "Nama saya Pak Joyo. Saya sudah puluhan tahun jadi sopir taksi. Banyak orang datang ke mobil ini dengan masalah mereka sendiri. Ada yang sedih, marah, bahkan ada yang cuma ingin ngobrol soal alien sama saya."

Aditya terkekeh, meskipun tawanya terdengar kosong. "Alien?"

"Yoi, alien. Bahkan soal Mars juga pernah. Elon Musk kan katanya mau mulai menjelajahi permukaan Mars tahun 2026 pakai robot penjelajah paling canggih. Katanya sih bakal revolusi teknologi antariksa. Tapi kalau menurut saya, manusia harus mikir dulu tujuan kita ke sana apa. Mencari kehidupan lain? Atau lari dari masalah di Bumi?"

Aditya mengangguk pelan, merasa percakapan ini lebih menarik daripada rasa sakit di dadanya. "Kalau begitu, mungkin kita semua cuma mencari final frontier laiknya Star Trek," gumamnya.

Pak Joyo nyengir lebar. "Wah, masuk-masuk nih topik!" katanya. "Final frontier... luas banget. Seperti Inferno-nya Dante, ya? Orang-orang itu harus melewati neraka dulu sebelum sampai surga. Kadang, hidup kita juga gitu. Masalah kayak neraka, tapi kalau kita sabar, pasti ada jalan keluar."

Aditya mengernyit. "Dante? Anda baca Dante?"

"Bukan cuma Dante. Saya juga suka sejarah. Tahu Diponegoro? Dia marah besar waktu kuburan keluarganya digusur Belanda. Itu bentuk pemberontakan moral, gengsi, dan harga diri. Setiap manusia punya infernonya sendiri, tapi cara kita menghadapinya yang bikin beda."

Aditya terdiam, merenung. Radio di dashboard tiba-tiba memainkan lagu Hotel California oleh Eagles. Musik rock klasik tahun 60-an itu mengalun pelan-pelan, membuat suasana menjadi semakin surreal.

"Lagu ini enak ya, Pak," kata Pak Joyo. "Kadang musik itu kayak cermin. Kita dengar, tapi yang kita rasakan adalah refleksi dari hati kita sendiri."

Aditya tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. "Tapi kenapa ya, kadang-kadang kita merasa ingin pergi jauh sekali? Seperti Abraham atau Musa yang diperintah Allah meninggalkan kota yang membesarkan mereka. Apa mereka tak pernah takut?"

Pak Joyo tersenyum bijak. "Takut? Pasti takut. Tapi mereka juga punya keyakinan. Keyakinan bahwa ada sesuatu yang lebih besar menanti. Kota Kanaan yang tak pernah disentuh Musa, misalnya. Kadang impian kita itu seperti Kanaan. Kita nggak akan pernah sampai, tapi perjalanan menuju ke sana itulah yang memberi arti pada hidup."

Taksi itu akhirnya memperlambat lajunya. Mereka tiba di depan kos Aditya. Namun, alih-alih langsung turun, Aditya berkata, "Pak Joyo, kalau bisa, saya minta kita pergi lebih jauh lagi. Ke final frontier yang sesungguhnya. Ke Mars, atau mungkin ke Kanaan."

Pak Joyo tertawa renyah. "Nanti saja kalau bensin cukup, Nak. Malam ini, kita cukup sampai sini dulu. Tapi ingat, setiap orang punya garis takdirnya sendiri. Kamu nggak perlu buru-buru cari ujungnya. Nikmati perjalananmu."

Aditya tersenyum, membayar ongkos taksi, dan turun dengan langkah yang lebih ringan. Ketika ia menoleh ke arah taksi yang perlahan menjauh, ia merasa seperti baru saja bertemu dengan seorang filsuf jalanan.

Dan entah kenapa, hujan yang tadinya terasa dingin kini terasa seperti embusan angin segar.

Comments