Di kamar hotel yang remang, Andika duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Saraswati berbaring di sebelahnya, menatap langit-langit dengan mata kosong. Hening mendominasi ruang, hanya suara AC yang berdesir pelan. Tiba-tiba, bahu Andika bergetar. Saraswati menoleh dan terkejut melihatnya menangis.
"Aku mencintaimu, Saras," suara Andika serak. "Tapi aku juga terikat dengan pernikahanku."
Saraswati mengulurkan tangan, membelai punggungnya pelan. "Kamu tidak harus pergi..."
Andika menarik napas panjang, menahan gemuruh di dadanya. "Widya sudah tahu," katanya pelan. "Dia tidak tahu dengan siapa, tapi dia tahu aku berselingkuh. Kantor memutuskan aku dipindahkan ke Manokwari, dan dia memutuskan ikut bersama anak-anak. Itu... buktiku menghormati pernikahan ini, meskipun aku tahu aku sudah merusaknya."
Saraswati menutup mata. Air matanya jatuh tanpa suara. Ia tahu, apa pun yang ia katakan tidak akan mengubah keputusan Andika. Dalam benaknya, ia teringat lukisan Hotel Room karya Edward Hopper—seorang wanita duduk di tepi ranjang dengan ekspresi hampa, seolah membaca surat perpisahan yang tak pernah tertulis. Ini sepertinya hal yang luput dilukiskan Hopper: air mata yang tertahan, isak yang nyaris tak terdengar, dan rasa kehilangan yang menggantung di udara.
Setahun sebelumnya, di sebuah kantor di Jakarta Selatan, Andika dan Saraswati pertama kali bertemu. Saraswati baru saja dipromosikan ke bagian strategi pemasaran, sementara Andika sudah lebih dahulu menjadi kepala divisi operasional. Mereka sering bertemu dalam rapat dan diskusi proyek. Awalnya, semua terasa profesional, sampai obrolan mereka berlanjut ke topik-topik pribadi. Saraswati tahu Andika sudah menikah, tapi tak bisa menahan perasaannya ketika kedekatan mereka semakin dalam.
Malam itu, di kantor yang hampir sepi, Saraswati masuk ke ruang kerja Andika membawa beberapa dokumen. Saat menyerahkan berkas, jari mereka bersentuhan, dan untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Mereka saling menatap, dan dalam sekejap, garis batas yang seharusnya ada mulai kabur.
"Kita tidak seharusnya seperti ini," kata Andika lirih.
Saraswati menahan napas, lalu tersenyum tipis. "Tapi ini sudah terjadi."
Dan sejak malam itu, mereka terus bertemu. Kadang di kafe kecil di sudut Jakarta, kadang di hotel-hotel yang mereka pilih dengan hati-hati. Mereka tahu hubungan ini salah, tapi perasaan itu terlalu kuat untuk diabaikan.
Ketika berita tentang kepindahan Andika ke Manokwari muncul, Saraswati panik. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Andika di sisinya. Maka, ia mengundangnya ke hotel untuk terakhir kalinya, berharap bisa meyakinkan Andika agar tetap tinggal.
"Aku bisa bicara dengan manajemen," Saraswati berkata dengan suara bergetar. "Aku bisa mencoba membatalkan kepindahanmu."
Andika menggeleng. "Ini sudah keputusan kantor. Lagipula, Widya ingin ikut. Ini kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Saraswati merasa dadanya sesak. "Dan kita? Apa yang kita punya ini tidak berarti bagimu?"
Andika menatapnya lama. "Kita punya banyak hal, Saras. Tapi pada akhirnya, aku harus memilih keluargaku."
Malam itu mereka habiskan dalam diam, hanya suara napas dan degup jantung yang berbicara. Di luar, lampu-lampu jalanan meredup perlahan, seperti menyesuaikan diri dengan keheningan mereka. Dalam hati, Saraswati terngiang lirik Evidence of Love dari Air Supply: "Like a whisper on the wind, love comes to me…" Tapi kali ini, cinta itu datang bukan untuk menetap, melainkan untuk pergi.
Saat pagi menjelang, meskipun Saraswati berkata, "Kamu tidak harus pergi," Andika tetap melangkah pergi, meninggalkannya dalam kehampaan yang dingin.
Saraswati duduk di tepi ranjang, memandang pintu yang telah tertutup. Ia kembali teringat lukisan Edward Hopper. Wanita dalam lukisan itu setidaknya masih memiliki selembar surat untuk dibaca. Sementara ia? Yang tertinggal hanyalah kenangan yang tak bisa ia tuliskan. Mungkin suatu hari, semua ini akan memudar. Atau mungkin, selamanya akan tetap menjadi luka yang tak tersembuhkan.
Kampung Sawah Baru, 2025
Comments