Bukan Sekarang


Daniel terbangun saat cahaya pagi jatuh di lengannya, seolah mengendap di atas kulitnya sebelum akhirnya melebur ke dalam kehangatan tempat tidur. Untuk sesaat, ia tidak bergerak. Ia mendengar derit kayu dari luar, suara burung yang asing, desiran angin di celah jendela tua yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya.

Kemudian ia ingat di mana ia berada—sebuah kamar penginapan murah di pinggiran kota kecil, jauh dari tempat biasanya ia hidup, dengan seorang wanita yang masih tidur di belakangnya, punggungnya terbuka, lengannya melingkar ke arah tempat kosong di sisi ranjang.

Ada sebuah buku di pangkuannya, terbuka di halaman yang sama seperti tadi malam. Plato, atau mungkin Plotinus. Ia tidak ingat lagi di mana ia berhenti membaca. Tidak bahwa itu penting. Ia pernah berpikir filsafat bisa menjelaskan sesuatu yang tidak bisa ia ucapkan—sesuatu tentang dirinya sendiri, sesuatu tentang waktu dan keinginan, tetapi pagi ini ia merasa lebih seperti orang yang tertinggal dalam mimpi yang belum selesai.

Wanita itu, yang semalam mengaku kepadanya bernama Evelyn, bergerak sedikit, kelopak matanya bergetar sebelum terbuka perlahan. "Kamu sudah bangun?" suaranya serak, baru saja ditarik dari dunia yang lebih lembut. Ia menggumam sebagai jawaban, tidak ingin mengganggu ketenangan yang masih menggantung di antara mereka. 

Evelyn menatapnya sejenak, lalu berbisik, "Kita benar-benar melakukan ini."

Daniel menatap langit-langit. "Ya."

Mereka tidak bicara lagi selama beberapa detik, seolah masing-masing mencoba memahami apa yang telah terjadi. Semalam, ia menjemputnya sebagai penumpang Uber di tengah hujan deras. Percakapan mereka yang awalnya biasa saja berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam saat Evelyn, dengan suara tenang, mengakui bahwa ia tidak tahu ke mana harus pergi. Daniel, tanpa berpikir panjang, menawarkan sebuah perjalanan tanpa tujuan.

Mereka berkendara selama berjam-jam, membiarkan jalanan kosong membawa mereka ke kota kecil ini. Ketika mereka akhirnya berhenti, tanpa benar-benar merencanakannya, mereka memesan kamar dan masuk bersama, seakan mengikuti naskah yang telah ditulis oleh takdir.

"Kamu menyesal?" Evelyn bertanya.

Daniel menghela napas. "Aku tidak tahu. Kamu?"

Evelyn tidak segera menjawab. Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil rokok dari jaketnya yang tergeletak di kursi. Dengan gerakan lambat, ia menyalakan sebatang dan menghisapnya dalam-dalam. "Aku tidak yakin ini soal menyesal atau tidak. Aku hanya bertanya-tanya… apa yang akan terjadi setelah ini?"

Daniel menatap Evelyn. Wanita itu tampak lelah, tapi juga tenang, seperti seseorang yang telah memutuskan untuk menerima konsekuensi dari keputusannya. 

"Aku harus kembali," kata Daniel akhirnya. "Aku punya kehidupan yang menungguku."

Evelyn tersenyum tipis. "Kehidupan yang tidak kau inginkan."

Daniel menghela napas. Ia tahu Evelyn benar. Mengemudi Uber hanyalah pelariannya. Ia tidak ingin kembali ke apartemennya yang kosong, ke rutinitas yang tak berarti. Tapi tetap saja, ada hal-hal yang harus ia jalani. "Kita tidak bisa tetap di sini."

Evelyn mengangguk, seolah sudah tahu jawaban itu sejak awal. "Tapi mungkin kita bisa menunda sedikit lagi."

Daniel menatapnya. "Sedikit lagi?"

Evelyn memadamkan rokoknya, berjalan ke jendela, dan menarik tirai sedikit. "Hari yang cerah."

Ia mengangguk, meski itu bukan hal yang sedang ia pikirkan. Ia memandang tubuhnya yang ramping, rambutnya yang jatuh di bahunya seperti gelombang yang malas. Ia ingin mengingatnya seperti ini, cahaya yang jatuh di kulitnya, suara napasnya yang ringan. 

"Ada cara untuk tetap di sini," kata Evelyn pelan. "Kita bisa pergi. Bersama."

Daniel merasakan dadanya mengencang. Pikiran itu menggoda, tapi juga berbahaya. Ia tahu ia bisa saja mengatakan iya, membiarkan dirinya terbawa oleh absurditas keinginan yang muncul begitu saja. Tapi itu bukan kenyataan. Ia bukan pria yang bisa meninggalkan segalanya untuk sesuatu yang tidak pasti.

"Aku ingin," katanya, "Tapi aku tidak bisa."

Evelyn tersenyum kecil, seolah sudah menduga jawabannya. "Aku tahu."

Mereka duduk dalam keheningan. Waktu berlalu perlahan, seperti enggan membawa mereka ke kenyataan. Lagu R.E.M. bertajuk "Uberlin" terngiang kembali di kepala Evelyn, semalam ia dengarkan dalam perjalanan ke sini. Hey now, take your pills and hey now, make your breakfast. Kata-kata itu melayang dalam pikirannya, seperti pengingat bahwa hari harus dimulai, seperti alarm yang lembut namun tak terbantahkan. Dunia terus berputar, dan ia harus melangkah.

"Bukan sekarang," Evelyn berkata akhirnya.

Daniel menatapnya. "Bukan sekarang."

Mereka tidak mengatakan apa-apa lagi. Tidak ada yang perlu dikatakan. Hari telah dimulai. Dan dalam beberapa jam lagi, ia akan pergi, meninggalkan buku itu di meja, meninggalkan jejak di sprei yang akan segera dirapikan, meninggalkan sebuah kenangan yang mungkin, jika beruntung, akan tetap ada di pikirannya lebih lama dari yang ia perkirakan.

2025

Comments