Rumah Alea


Sore itu, Alea duduk di sebuah kafe kecil di pinggir kota, menatap kosong ke luar jendela. Lalu lintas Jakarta bergerak perlahan, seperti menahan napas sebelum terjun ke dalam malam yang sibuk. Di luar, orang-orang berlalu-lalang dengan wajah lelah, tenggelam dalam rutinitas yang sama setiap harinya. Di dalam kafe, suara obrolan samar-samar bercampur dengan dentingan sendok dan garpu di atas piring. Alea merasa terjebak, tidak hanya di kota ini, tetapi juga dalam pikirannya sendiri. 

Di usianya yang ke-29, Alea merasa tidak pernah benar-benar memiliki tempat yang bisa ia sebut rumah. Bukan karena ia tunawisma atau terlunta-lunta, tetapi lebih kepada perasaan asing yang selalu menghantuinya di mana pun ia berada. Ia pernah tinggal di banyak tempat: Bandung, Yogyakarta, Bali, dan akhirnya kembali ke Jakarta. Namun, tak satu pun dari tempat-tempat itu memberikan perasaan nyaman, seperti rumah yang selalu ia bayangkan—tempat di mana ia bisa benar-benar melepaskan diri dari segala beban, menjadi dirinya tanpa topeng, dan merasa utuh.

“Kamu kenapa?” suara Andra, sahabatnya yang duduk di seberang meja, membuyarkan lamunan Alea. Mereka sudah bersahabat selama lebih dari satu dekade, namun belakangan ini, Alea sering merasa sulit untuk benar-benar terbuka, bahkan kepada Andra.

Alea tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Cuma lagi mikir aja.”

Andra menatapnya dengan tatapan yang sudah akrab, tatapan yang mengatakan, *aku tahu ada yang kamu sembunyikan*. “Alea, kita udah temenan lama banget. Kalau ada apa-apa, bilang aja. Nggak usah dipendam sendiri.”

Alea menghela napas panjang. Selalu ada sesuatu di dalam dirinya yang sulit ia ungkapkan. Entah kenapa, setiap kali ia berusaha berbicara tentang perasaannya, lidahnya seperti tersangkut. “Aku cuma... ngerasa kosong aja, Ndra. Kayak, di mana pun aku berada, aku nggak pernah ngerasa nyaman. Aku selalu merasa ada yang kurang, ada yang salah.”

Andra mengernyit. “Maksudmu?”

“Aku nggak tahu,” jawab Alea, sambil memutar gelas kopinya yang sudah hampir kosong. “Aku nggak pernah benar-benar merasa ada di tempatku sendiri. Kayak ada bagian dari diriku yang hilang, tapi aku nggak tahu di mana harus nyari.”

Andra terdiam sejenak, mencerna kata-kata Alea. “Apa kamu pernah ngerasa seperti ini sebelumnya?”

Alea mengangguk. “Dari dulu. Makanya aku pindah-pindah kota, mencoba cari sesuatu yang... entah, sesuatu yang bisa bikin aku merasa ‘pulang’. Tapi di mana pun aku tinggal, rasanya sama aja.”

Andra menatapnya dalam-dalam, seolah mencari jawaban di balik kata-kata Alea yang terdengar rapuh. “Menurutku, kamu mungkin terlalu fokus nyari tempat itu di luar dirimu, Alea. Padahal, yang kamu cari mungkin ada di dalam diri kamu sendiri.”

Alea menatap sahabatnya dengan pandangan bingung. "Maksudmu?"

"Kamu selalu nyari tempat yang bisa bikin kamu nyaman, merasa di rumah. Tapi gimana kalau sebenarnya, rumah itu nggak pernah tentang tempat fisik? Gimana kalau rumah itu adalah perasaan yang ada di dalam diri kamu sendiri?" Andra meletakkan cangkir kopinya, tatapannya berubah serius. "Mungkin yang perlu kamu temukan adalah ‘rumah dalam diri’. Karena kalau kamu nggak bisa merasa nyaman dengan diri sendiri, di mana pun kamu berada, kamu nggak akan pernah merasa benar-benar ‘pulang’."

Kata-kata Andra berputar di kepala Alea. *Rumah dalam diri*. Sebuah konsep yang asing namun sekaligus terasa begitu dekat. Alea tidak pernah benar-benar memikirkannya. Selama ini ia selalu mengira bahwa perasaan nyaman dan damai harus datang dari luar: dari tempat yang ia tinggali, dari orang-orang di sekitarnya, dari lingkungan yang bisa mendukungnya. Tapi bagaimana jika apa yang ia cari sebenarnya ada di dalam dirinya sendiri, dan ia hanya belum tahu bagaimana menemukannya?

***

Malam itu, Alea pulang ke apartemennya di bilangan Cikini. Sebuah apartemen kecil di lantai 12 yang sudah ia huni selama tiga tahun terakhir. Ia membuka pintu, meletakkan tas di sofa, dan langsung menuju jendela besar di ruang tamu. Dari sini, ia bisa melihat kerlip lampu-lampu kota yang seakan tak pernah tidur. Jakarta tampak begitu hidup, namun bagi Alea, ada kekosongan yang tidak bisa ia jelaskan. Di balik gemerlap lampu dan hiruk pikuk kehidupan malam, ada rasa hampa yang selalu mengikuti ke mana pun ia pergi.

Ia duduk di sofa, memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-kata Andra. Rumah dalam diri. Bagaimana mungkin seseorang bisa merasa ‘di rumah’ jika bahkan dalam kesunyian pun, ada kekacauan yang tak bisa dihentikan? Pikirannya sering kali berlarian ke segala arah, memikirkan banyak hal yang tidak penting, atau justru terlalu penting hingga membebaninya. Ia merasa terjebak dalam lingkaran tak berujung: mencoba mencari makna dalam hidup, tapi selalu berakhir dengan kekecewaan.

Alea membuka matanya dan menatap sekeliling. Apartemen ini berantakan—baju berserakan di lantai, buku-buku tertumpuk di meja, dan cangkir-cangkir kopi kosong berjejer di samping tempat tidur. Ia selalu berpikir, jika ia bisa merapikan tempat tinggalnya, mungkin ia akan merasa lebih baik. Tapi bahkan setelah berkali-kali mencoba, perasaan itu tetap ada. Kekacauan di luar hanya cerminan dari kekacauan di dalam dirinya.

Ia mengambil napas panjang dan memutuskan untuk mulai membereskan ruangan. Satu per satu, ia mengangkat baju-baju yang berserakan, melipatnya, lalu menyusunnya di lemari. Ia membersihkan meja, membuang cangkir-cangkir kosong ke tempat cuci piring, dan menyapu lantai yang berdebu. Saat ia melakukannya, ada sesuatu yang terasa ringan. Bukan hanya karena ruangan menjadi lebih rapi, tapi juga karena untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa seperti mengambil kendali atas hidupnya.

Pikirannya mulai tenang, meskipun hanya sedikit. Alea sadar bahwa ini bukanlah solusi permanen. Kekacauan dalam dirinya tidak akan hilang hanya dengan membersihkan apartemen. Tapi ini adalah langkah pertama—langkah kecil untuk mulai berdamai dengan diri sendiri.

Setelah selesai, Alea duduk di lantai, memandangi ruangan yang kini tampak lebih teratur. Ia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi meditasi yang sudah lama ia unduh, namun tak pernah digunakan. Ia menekan tombol play, dan suara lembut dari instruktur meditasi mulai memenuhi ruangan.

“Tutup matamu. Fokuskan perhatianmu pada napas. Rasakan udara yang masuk dan keluar dari tubuhmu. Biarkan pikiranmu mengalir, tapi jangan terpaku pada satu pikiran. Hanya amati.”

Alea mengikuti instruksi itu. Perlahan, ia merasakan napasnya semakin dalam dan teratur. Pikirannya masih penuh dengan keraguan dan kecemasan, tapi ia mencoba untuk tidak melawan. Ia membiarkan pikirannya mengalir, seperti sungai yang mengalir tanpa henti, tanpa harus menghentikannya atau mengubah arahnya.

“Bayangkan dirimu berada di tempat yang paling nyaman. Tempat di mana kamu bisa merasa aman, tenang, dan damai. Di tempat itu, tidak ada gangguan dari luar, tidak ada kekhawatiran, hanya ada dirimu sendiri.”

Alea mencoba membayangkan tempat itu. Sebuah rumah yang hangat, dengan dinding-dinding berwarna lembut, aroma kayu, dan suara angin yang berdesir di luar. Namun, semakin ia berusaha, semakin ia merasa bahwa rumah itu bukanlah tempat fisik. Itu adalah perasaan yang sulit dijelaskan, perasaan yang muncul ketika ia merasa utuh, ketika ia tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain atau mencoba memenuhi ekspektasi orang lain.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Alea merasa sedikit lebih damai. Tidak sepenuhnya, tidak dengan cara yang dramatis, tetapi ada secercah perasaan nyaman yang muncul dari dalam dirinya. Sebuah perasaan bahwa mungkin, ia tidak perlu lagi mencari rumah di luar sana. Mungkin, rumah yang ia cari selalu ada di dalam dirinya sendiri.

***

Hari-hari berlalu, dan Alea mulai menjalani rutinitas barunya. Setiap pagi, ia menyempatkan waktu untuk duduk diam, bermeditasi, atau hanya sekadar duduk di balkon apartemennya, menikmati napasnya sendiri. Ia belajar untuk memperlambat langkah, untuk mendengarkan dirinya sendiri lebih dalam. Kekacauan di luar masih ada—pekerjaan, tuntutan sosial, harapan-harapan dari orang-orang di sekitarnya—tapi ia mulai belajar bahwa rumah dalam dirinya adalah sesuatu yang harus ia bangun perlahan-lahan.

Ia tidak lagi merasa harus selalu mencari tempat di mana ia bisa ‘pulang’. Karena sekarang, ia tahu bahwa rumah yang ia cari adalah perasaan damai dalam dirinya sendiri. Dan meskipun perasaan itu masih rapuh, masih goyah, Alea tahu bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju sesuatu yang lebih besar dari sekadar tempat fisik. 

Perjalanan untuk menemukan rumah dalam diri bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi Alea merasa yakin bahwa langkah-langkah kecil yang ia ambil setiap hari akan membawanya ke arah yang benar.

Comments